Urip Mung Mampir Opo Jare (Hidup Cuma Mampir Apa Katanya)

Urip Mung Mampir Opo Jare (Hidup Cuma Mampir Apa Katanya)

Oleh | Didik Wahyu Kurniawan -Tanggal 29 June 2025

KATANYA-Ini musim yang mulai membingungkan bagi saya. Bukan pekara musim yang sulit ditebak, kemarau tapi hujan, penghujan tapi sumuk, melainkan musim dimana saya dan istri hampir setiap hari baku hantam adu ilmu kanuragan mengeluarkan kekuatan super masing-masing. Demi apa? Demi memilih sekolah yang terbaik bagi anak-anak kami. Yang besar mulai masuk SD, yang satunya mulai masuk TK, yang satu mulai masuk waiting list. 


Sebenarnya saya sendiri agak geli menjadi orang tua. Saya ini wegah ribet orangnya. Sampai di suatu malam saya melontarkan pernyataan pemicu perang dunia ketigapuluhempat. 
"Anak-anak gak usah sekolah. Semua sekolah sama saja."


Pernyataan saya bukan tanpa alasan. Setelah ribuan jurnal publikasi ilmiah dengan berbagai strata intelektualitasnya, Scopus, sinta 1, sinta 2, sintae young, apalah itu menurut saya semua sekolah di Indonesia itu sama saja. Ukuran utamanya hanya kecerdasan kognitif. Akademikal. Saya nyarinya sekolah dengan pendekatan kultural. Hei?! Apa lagi itu kisanak?
Orang tua milih sekolah hari ini hanya berdasar "Opo jare". Jare alumnuse sukses sukses. Nek sukses. Sing kena kasus ora disebut lulusan ngendi. Tapi kalau ada terduga teroris, langsung disebut lulusan pondok pesantrennya. Maka saya memilih sekolah yang membangun kebiasaan yang berguna dengan benar-benar dan sungguh-sungguh bagi para muridnya. Kebiasaan yang menjadi reflek di dalam pengambilan keputusan menghadapi masalah-masalah yang nyata. 


Apakah saya mengesampingkan ilmu eksak? Tentu tidak. Bahkan saya ngeyel kepada anak-anak. Anak-anak harus hafal Al Quran. Hafal. Sekali lagi hafal. Demi apa? Biar saya sebagai orang tuanya bisa masuk surga? Oh, tidak seabsolut itu kisanak. Mereka, anak-anak saya harus hafal. Bukan untuk gagah-gagahan. Melainkan untuk kebutuhan hidup mereka sendiri. Dan menurut saya pendekatan kultural adalah yang paling tepat. Belajar dengan lentur. Ilmu pengetahuan disikapi dengan rileks. Serius iya. Militeristik tetep. Lho siapa bilang pendekatan budaya, seni dalam hal ini sangat mengesampingkan gaya militeristik? Metronome itu kurang militer apa? Militer banget lho kuwi? Luput sitik luput kabeh. Dibaleni sak piturute. Lha mbok kiro baca puisi ora nganggo tempo? Tanda baca itu buat apa fungsinya di dalam tulisan? Militeristik itu. Kudu dituruti.


Saya pengen mereka belajar sesuai dengan kebutuhannya. Kalau jazz ya jazz dulu. Kalau kepeksa kontemporer apa fussion ya tak masalah. Saya mencari sekolah yang tidak hanya menjejalkan secara membabi buta semua ilmu pengetahuan. Yang kadang itu anak saya belum terlalu butuh. Fungsi dan tugas DPR tidak perlu diketahui anak saya yang baru masuk sekolah dasar. Bahkan nama-nama manusia yang pernah menjabat sebagai presiden Indonesia siapa saja itu juga belum terlalu diperlukan.


Sekarang makin ngeh kan kenapa saya jadi makin sering bertarung dengan istri saya? Saya hanya mencoba menemukan cara supaya anak-anak saya bisa belajar bagaimana caranya belajar. Bukan belajar supaya disebut pintar. Paling pol dadi opo sih nek pinter? Ngelola tambang? Lak ora to? Paling dadi peserta lomba tarik tambang.

Didik W. Kuniawan
Solo, 29 Juni 2025, 07.44 
Ditulis di sela-sela pengajian. Pengajian tidak terlalu penting, yang penting acc pengajuan.

Bagikan: WhatsApp Instagram Facebook Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!