KATANYA- Seni dan budaya bukan sekadar hiasan pinggir jalan kehidupan masyarakat, melainkan denyut yang menyatukan identitas, memori, dan nilai-nilai kolektif. Di balik panggung besar ini, para pelaku seni dan budaya memegang peranan vital sebagai penjaga sekaligus penggerak dinamika sosial. Namun, tak jarang kita menyaksikan paradoks menarik: sosok yang sama di satu waktu tampil sebagai budayawan — sang konservator yang mengawal warisan budaya agar tetap suci — dan di waktu lain berubah menjadi seniman progresif yang menantang status quo lewat karya-karya penuh kritik. Dua wajah yang kadang melebur, tetapi sering bertabrakan, mencerminkan dilema sosial-budaya kontemporer yang kerap sulit menemukan titik temu (Bourdieu, 1993).
Budayawan, secara klasik, adalah pelaku budaya yang fokus pada pelestarian, kajian, dan pengembangan nilai-nilai yang membentuk identitas sosial masyarakat. Mereka berdiri sebagai penjaga tradisi, pengingat bahwa akar adalah fondasi masa depan. Sementara itu, seniman adalah pencipta karya yang mengekspresikan subjektivitas, seringkali mengambil peran kritis sebagai cermin sosial sekaligus agen perubahan. Perbedaan mendasar terletak pada fokus, tanggung jawab, dan tujuan berkarya: budayawan mengedepankan kesinambungan dan stabilitas, seniman mendobrak batas dan menciptakan dialog baru (Becker, 1982). Namun, dalam praktiknya, peran ini tidak mudah dipisah dan kerap tumpang tindih secara ambigu.
Fenomena “kadang budayawan – kadang seniman” muncul ketika banyak pelaku seni ingin tampil konservatif demi melindungi “kemurnian” budaya, tetapi di sisi lain mendambakan kebebasan berkreasi yang progresif dan kritis. Misalnya, pelestarian budaya yang semestinya menjaga warisan, justru menjadi pagar pembatas bagi ekspresi seni yang dinamis. Kasus ini mudah ditemui ketika komunitas seni menolak karya yang dianggap “terlalu radikal” dengan alasan menjaga kelestarian budaya asli. Dalam ketegangan itu, paradoks lahir: pelaku seni-budaya kadang tanpa sadar mengikat diri dalam kontradiksi, menciptakan ruang di mana konservatisme dan inovasi saling berebut tanpa konsensus (Geertz, 1973).
Sikap tersebut cenderung berdampak buruk pada kualitas karya seni dan budaya yang dihasilkan. Ketidakjelasan peran dan inkonsistensi sikap sering menimbulkan karya setengah hati—baik pelestarian yang kaku maupun kritik yang kehilangan daya dorong. Lebih jauh, fenomena ini mencerminkan masalah sosial yang lebih luas: identitas kabur, pengaruh politik yang menekan kebebasan, serta tekanan ekonomi yang memaksa pelaku seni menyesuaikan diri dengan tren atau kepentingan tertentu. Akibatnya, masyarakat sebagai penikmat dan pewaris budaya jadi bingung memahami nilai dan pesan yang seharusnya disampaikan (Hall, 1997). Hal ini tentu menghambat pembangunan budaya yang inklusif dan progresif.
Namun, harapan masih terbuka lebar jika pelaku seni dan budayawan berani melakukan refleksi dan mengintegrasikan peran mereka secara harmonis. Keberanian memilih sikap tegas—baik sebagai pelestari budaya yang kritis maupun seniman yang bertanggung jawab—menjadi kunci memecahkan paradoks ini. Dialog terbuka antar pelaku seni, pendidikan budaya yang inklusif, serta dukungan institusi yang nyata adalah langkah konkret yang dapat membawa perubahan (Bennett, 2013). Seni dan budaya tidak hanya menjadi warisan yang diam, tetapi juga penggerak sosial yang dinamis.
Seni dan budaya adalah alat perubahan sekaligus pengikat sosial. Dalam ketidakkonsistenan peran yang kita saksikan, tersimpan pelajaran penting: identitas sejati lahir dari integritas, bukan dualitas yang membingungkan. Mari kita lihat lebih kritis, dengan rasa ingin tahu dan skeptisisme konstruktif, bagaimana para budayawan dan seniman memainkan peran mereka.
Menariknya, di tengah ambivalensi menjadi budayawan dan seniman, muncul fenomena lain yang: banyak pelaku seni dan budaya yang diam-diam—atau bahkan terang-terangan—memendam cita menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Posisi PNS sering dianggap “zona nyaman” di tengah ketidakpastian karier seniman yang berliku dan dunia budaya yang penuh dinamika. Alih-alih mengekspresikan kebebasan dan keberanian berkarya, sebagian besar memilih keamanan birokrasi yang stabil, tunjangan tetap, dan prospek pensiun pasti. Ini bukan sekadar pilihan karier, melainkan refleksi sosial yang menggelikan sekaligus menyedihkan: di mana gairah seni dan budaya bertransformasi menjadi birokrasi seni yang kaku dan berjarak.
Kondisi ini menandakan bahwa bahkan para idealis tidak lepas dari tekanan ekonomi dan politik yang menggerus mimpi kreatif. Sebagaimana dikemukakan McRobbie (2016), ekonomi kreatif sering terjebak paradoks antara ekspresi artistik dan kebutuhan pragmatis. Ketika pelaku seni memilih menjadi PNS, “ruang kreatif” yang seharusnya ladang subur bagi inovasi dan kritik sosial, malah berubah menjadi taman bermain regulasi dan kepatuhan. Alih-alih menjadi agen perubahan, mereka berpotensi menjadi bagian dari mesin administrasi yang menjaga status quo — serupa budayawan yang terjebak pelestarian tanpa kritik.
Menjadi PNS bukan dosa di dunia seni dan budaya. Dengan keberanian dan visi tepat, seniman dan budayawan di birokrasi dapat menjadi jembatan antara pelestarian dan inovasi, sekaligus memperkuat dukungan institusi bagi ekosistem seni yang inklusif dan dinamis. Selama semangat kritis dan integritas terjaga, “bercita sebagai PNS” bukan pengkhianatan, melainkan strategi cerdas untuk bertahan dan berkontribusi dalam medan seni yang selalu bergelora antara tradisi dan perubahan.