KATANYA - Di era di mana batas antara ekspresi dan pencitraan semakin kabur, muncul pertanyaan sederhana tapi mengusik: apakah semua yang tampak “nyeni” benar-benar seniman? Dunia seni, sebagai ruang ekspresi kreatif, seringkali hadir dipahami sebagai panggung performative. Di mana siapa saja bisa berperan sebagai “seniman” dengan berdandan nyleneh, bicara ambigu, dan aktif di jejaring sosial dengan menampilkan rupa citra estetis. “Nyeniman”—menjadi tampak menjadi citra bagi mereka yang tampak sibuk membangun persona daripada menjalani proses kreatif jujur dan reflektif.
Nyeniman adalah wujud zaman kemasan, di mana citra sering mengalahkan isi. Karya viral bukan “isi”, melainkan karena siapa yang mengunggah dan seberapa catchy narasinya. Meski tidak semua yang tampil nyentrik itu nyeniman. Dunia seni tetaplah menjadi ruang kebebasan berekspresi, tapi kita harus jeli membedakan antara ekspresi otentik dan pencitraan semata. Apakah seseorang yang baru sekali pameran bisa disebut perupa? Apakah penulis puisi galau di media sosial otomatis lahir sebagai penyair? Atau mungkin kita terlalu sibuk mengurusi label dan lupa bahwa seni adalah proses, bukan status sosial.
Fenomena ini diperparah kultur digital yang membentuk ulang lanskap seni kontemporer. Seniman tak lagi hanya yang bekerja dalam diam dan riset, tapi juga yang karyanya “nendang” di mata netizen, meski isinya bisa jadi hampa. Popularitas mengalahkan isi dan subtansi, estetika visual menggeser substansi konseptual. Maka penting bagi kita menimbang ulang arti menjadi seniman hari ini—apakah cukup tampil artistik, ataukah masih harus ada kejujuran kreatif dan keberanian menghadapi kritik sebagai pondasi eksistensi seni sejati?
Siapa Seniman?
Setelah menyoal perbedaan antara seniman dan nyeniman, pertanyaan mendasar muncul: siapa sebenarnya yang layak disebut seniman? Apakah gelar itu hanya milik mereka yang berpendidikan seni formal, yang sudah menggelar pameran tunggal, atau bahkan yang punya banyak pengikut di media sosial dan menyebut diri “artist” di bio Instagram(nya)? Makna “seniman” seolah telah berubah seiring waktu. Dahulu, seniman identik dengan pengabdian penuh pada seni: menggali gagasan, mencipta karya, dan sering hidup dalam ketidakpastian demi menjaga integritas. Kini, di tengah era digital dan arus budaya pop, hal itu menjadi lebih longgar, bahkan kabur. Seni jadi lebih inklusif dan demokratis, tapi sekaligus “membagongkan” (baca: membingungkan), antara ekspresi jujur dan pencitraan.
Secara esensial, seniman adalah mereka yang menjadikan karya sebagai medium bagi “narasi” ide, perasaan, atau kritik sosial, dalam bingkai proses kreatif—baik secara intelektual, emosional, maupun teknis. Proses ini membedakan antara yang sekadar iseng berkarya dan mereka yang serius berperan sebagai seniman. Pengakuan atas status seniman juga tak lepas dari ekosistem seni: kritikus, kurator, akademisi, dan komunitas seni yang memberikan konteks dan validasi. Namun, pengakuan formal bukan satu-satunya tolak ukur; banyak seniman besar lahir dari jalanan dan komunitas alternatif, yang dibedakan oleh konsistensi dan keberanian menyampaikan pesan penting lewat karya.
Sebaliknya, nyeniman sering kali lebih fokus pada pencitraan, membangun persona artistik tanpa melewati proses kreatif yang sungguh-sungguh. Untuk memahami siapa seniman sejati, kita harus menilai intensi dan integritas karya, bukan sekadar penampilan atau popularitas semu. Seni sejati adalah pertaruhan intelektual dan emosional, bukan rupa atas gaya hidup.
Budaya Pop dan Mediatik: Lahan Subur Nyeniman
Jika dunia seni adalah medan pertempuran ide dan ekspresi, maka budaya pop dan media sosial adalah medan perang yang penuh dengan perangkap godaan. Di sini, seniman sejati berjuang dengan senjata intelektual dan emosional, sementara mereka “yang” nyeniman hanya berlarian dengan topeng dan kostum. Berusaha mencuri perhatian tanpa benar-benar berbicara. Dalam ekosistem digital yang serba cepat, di mana algoritma menentukan siapa yang terlihat dan siapa yang tenggelam, muncul pertanyaan: apakah kita masih bisa membedakan antara karya yang autentik dan yang hanya sekadar sensasi?
Budaya pop, dengan segala kemilau dan gemerlapnya, acap kali menjadi ladang subur bagi ‘laku’ nyeniman. Mereka yang lebih peduli pada citra diri daripada substansi karya, lebih fokus pada jumlah likes daripada kualitas ide. Dalam dunia yang serba instan ini, menjadi viral sering kali lebih berharga daripada menjadi bermakna. Namun, apakah ini berarti seni telah kehilangan arah? Ataukah ini justru cerminan dari zaman yang terus berubah?
Seni kontemporer, terutama yang berkembang melalui media sosial, sering terjebak dalam dilema antara keinginan autentik dan kebutuhan untuk tampil menarik. Seperti yang diungkapkan oleh Mark Dunst (2025), estetika autentik sering kali dipromosikan secara agresif dan diam-diam didistorsi. Platform seperti Instagram telah mengubah seniman menjadi pembuat konten, dan pembuat konten menjadi merek. Di dunia ini, narasi pribadi sering kali lebih penting daripada karya itu sendiri. Apa yang dijual bukan hanya gambar, tetapi juga cerita di baliknya—seberapa mentah, seberapa rentan, seberapa nyata seniman itu tampak. Ini telah menciptakan budaya di mana 'keaslian' menjadi nilai jual, sebuah sikap yang harus diadopsi seniman untuk mendapatkan visibilitas (Dunst, 2025).
Namun, dalam upaya untuk tampil autentik, sering kali yang ditampilkan hanyalah pertunjukan dari keautentikan itu sendiri. Apa yang ditawarkan bukanlah kerentanannya—tetapi pertunjukan kerentanannya, disesuaikan untuk keterlibatan. Penonton tidak hanya melihat seni. Mereka diminta untuk berinvestasi dalam kepribadian seniman, rasa sakit mereka, cerita mereka. Ini adalah seni yang lebih tentang penampilan daripada substansi, lebih tentang citra daripada ide (Dunst, 2025).
Budaya pop tampak telah memberikan ruang bagi seniman untuk bereksperimen dan berinovasi. Gerakan seperti pop art, yang muncul pada pertengahan abad ke-20, menantang tradisi seni dengan memasukkan citra dari budaya populer dan massal, seperti iklan, buku komik, dan objek massal yang diproduksi. Salah satu tujuan utamanya adalah menggunakan gambar dari budaya populer dalam seni, menekankan elemen-elemen sepele atau murahan dari budaya apa pun, melalui penggunaan ironi (Wikipedia, 2025).
Namun, dalam konteks saat ini, kita harus bertanya: apakah budaya pop masih menjadi medium yang sah untuk ekspresi artistik, ataukah ia telah berubah menjadi komoditas yang hanya mengejar popularitas? Apakah kita masih bisa menemukan karya di tengah lautan konten yang dangkal? Ataukah kita harus menerima kenyataan bahwa dalam dunia yang serba cepat ini, keautentikan sering kali menjadi barang langka? Dalam menghadapi fenomena ini, penting untuk tetap kritis dan selektif. Mampu membedakan antara karya yang benar-benar berbicara dan yang hanya berteriak untuk perhatian. Karena pada akhirnya, seni sejati tidak hanya dilihat, tetapi juga dirasakan dan dipahami.
Nyeniman sebagai Gejala Sosial dan Budaya
Fenomena nyeniman bukan hanya sekadar persoalan estetika atau kualitas seni, melainkan cerminan dari dinamika sosial dan budaya yang lebih luas. Dalam era digital dan budaya pop yang serba cepat, nyeniman tumbuh subur sebagai produk dari kebutuhan sosial akan pengakuan instan dan pencitraan diri. Menurut Bauman (2000), masyarakat kontemporer cenderung mengutamakan “identitas cair” yang mudah berubah dan disesuaikan untuk berbagai situasi, termasuk dalam dunia seni. Nyeniman memanfaatkan fleksibilitas identitas ini untuk membangun persona yang menarik di mata publik, tanpa harus melalui proses pendalaman kreatif yang biasanya melelahkan.
Nyeniman juga dapat dilihat sebagai produk dari kapitalisme budaya yang menuntut segala sesuatu untuk cepat “dikonsumsi” dan “dikemas” dalam bentuk yang mudah dicerna. Seperti yang dijelaskan oleh Adorno dan Horkheimer (1944/2002), budaya massa cenderung mengubah produk seni menjadi komoditas yang kehilangan kedalaman dan kritik sosialnya. Dalam konteks ini, nyeniman lebih fokus pada aspek hiburan dan popularitas, bukan pada substansi atau pesan. Namun, fenomena ini bukan sepenuhnya negatif. Nyeniman sering kali berhasil menjembatani seni dengan publik, memperkenalkan seni ke ranah yang sebelumnya sulit dijangkau. Tapi, tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara hiburan dan integritas seni agar dunia seni tetap hidup dan bermakna.
Kehadiran nyeniman sebagai fenomena sosial dan budaya tentu membawa dampak yang signifikan terhadap dunia seni itu sendiri. Di satu sisi, mereka berhasil memperluas jangkauan seni ke khalayak yang lebih luas, membuat seni lebih “ramah” dan mudah diakses. Tapi di sisi lain, konsekuensi dari dominasi gaya nyeniman adalah melemahnya nilai-nilai otentisitas dan kedalaman artistik. Dunia seni berisiko menjadi ajang pertunjukan pencitraan yang lebih mengutamakan popularitas dan sensasi daripada eksplorasi konseptual dan refleksi. Hal ini tentu saja menimbulkan tantangan serius bagi institusi seni dan komunitas kreatif dalam menjaga standar dan integritas seni sebagai medium ekspresi dan kritik sosial.
Tidak hanya itu, kehadiran nyeniman juga memaksa para seniman sejati untuk lebih kreatif dalam mempertahankan otentisitas dan relevansi karya mereka di tengah kebisingan digital. Meskipun tantangan ini berat, ia membuka ruang diskusi penting tentang bagaimana seni harus didefinisikan ulang agar tetap hidup dan berkembang tanpa kehilangan akar dan nilai filosofisnya.
Penting kiranya untuk menimbang ulang apa arti “seniman” di era modern yang yang dinamis ini. Tidak ada jawaban tunggal, karena seni dan identitas seniman selalu bertransformasi seiring waktu dan konteks sosial. Namun, yang pasti, menjadi seniman sejati lebih dari sekadar tampil mencolok atau viral di media sosial. Ia adalah komitmen pada proses kreatif yang jujur, keberanian untuk menggali makna yang lebih dalam, dan kesediaan menerima kritik demi kematangan karya. Sementara nyeniman mungkin menjadi solusi dan jalan pintas menuju perhatian, di tengah jalan panjang yang penuh liku dari sosok rupa ‘sang seniman sejati’. Orang yang selalu menjadikan seni sebagai alat perubahan dan refleksi.