Hari ini kami ikut rapat penyusunan anggaran untuk event kebudayaan. Ruangan penuh, kertas bertebaran. Angka-angka yang lebih sakral daripada ayat kitab suci. Semua dibicarakan dengan serius, biaya makan, sewa sound system, honor talent, transportasi, dan jangan lupa dokumentasi. Tapi satu hal yang tak pernah muncul yaitu Tuhan.
Bukan dalam arti religius. Tapi dalam pengertian nilai, makna, arah. Kita menyusun anggaran seperti merakit lego yang dipilah, dipotong, dibentuk. Tapi lupa bertanya ini semua untuk siapa, dan kenapa?
Apakah Tuhan bisa ditemukan dalam item “pelestarian budaya”? Atau justru hilang di tengah rincian “konsumsi rapat 2x sehari”? Kadang kamicuriga, dalam dokumen anggaran, Tuhan cuma muncul di pembukaan proposal, di bagian “dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa”, lalu hilang entah ke mana setelah itu.
Anggaran yang katanya untuk memuliakan kebudayaan, malah seringkali menjadi cara untuk memelihara jabatan. Nilai-nilai budaya dijadikan rubrik, tabel, laporan pertanggungjawaban. Tidak salah sebenarnya. Tapi jadi lucu ketika semangat spiritual yang seharusnya menjadi nyawa kebudayaan malah diwakili lewat tagihan hotel dan stempel basah.
Kita bicara soal ruang ekspresi kreatif, tapi yang dibuka justru tenda untuk lomba karaoke. Kita ingin menguatkan identitas lokal, tapi malah pesan dari ibu kota MC dan event organizernya. Tuhan, dalam hal ini bukan soal agama tapi soal kejujuran, ketulusan, dan rasa malu. Semua itu seringkali absen dari rencana anggaran.
Apakah kita masih percaya bahwa kebudayaan itu sakral? Atau sudah jadi strategi branding semata? Sebab, yang tampak di permukaan sering kali hanyalah pertunjukan. Yang penting ramai. Yang penting viral. Yang penting bisa dimasukkan ke media sosial dinas. Apakah Tuhan hadir dalam kehebohan itu?
Kami tidak mencari Tuhan dalam masjid atau pura, kamimencari-Nya dalam cara kita menyusun niat. Dalam cara kita memperlakukan kerja budaya. Dalam bagaimana kita menghormati para pengrajin tua yang tangannya gemetar tapi masih diajak pentas demi program “Revitalisasi Kesenian Tradisional”. Tuhan mungkin tidak menuntut laporan SPJ, tapi Tuhan menuntut kejujuran.
Bisa kita bayangkan jika Tuhan duduk di kursi rapat anggaran, bagaimana ekspresi dan sikapnya melihat alokasi dana 5 juta rupiah untuk biaya makeup penari tapi hanya 300 ribu untuk pembina sanggar? Apakah Ia akan tersenyum melihat seniman membuat pertunjukan bukan karena ada yang ingin disampaikan, tapi karena ada honorarium yang menanti?
Mungkin kita tidak perlu menyebut nama Tuhan di setiap lembar proposal. Tapi semestinya kita bertanya apakah Tuhan akan nyaman duduk bersama kita saat kita bicara soal dana? Jika jawabannya tidak, maka jangan-jangan yang kita susun bukan rencana anggaran, tapi rencana penghilangan makna.