Di zaman di mana kecerdasan buatan merambah ruang-ruang kreativitas, seni yang dahulu menjadi ranah murni jiwa manusia kini harus berhadapan dengan sesuatu yang tak kasat mata namun berkuasa besar: algoritma. Adalah mesin yang duduk diam di balik layar, dengan logika hitungan matematisnya, menentukan bukan hanya apa yang layak muncul di timeline, tapi juga siapa yang dianggap ‘keren’ dan siapa yang sekadar tenggelam dalam lautan konten. Algoritma ini, entah sadar atau tidak, telah menjadi ‘dewa’ baru di dunia seni—bukan dewa keindahan dan ekspresi, tapi metrik dan angka.
Sungguh ironis bahwa seni—yang selama ini menjadi wadah bebas bagi kreativitas, emosi, dan refleksi—kini tersandera oleh aturan-aturan yang dibuat oleh deretan kode dan rumus komputer. Alih-alih mengajak publik untuk berdiam sejenak, merenung, atau bahkan tergerak oleh sesuatu yang asing dan kompleks, algoritma lebih memilih karya yang mudah dicerna, bombastis, dan berpotensi tinggi menghasilkan klik dan interaksi. Dengan kata lain, manifestasi seni yang semestinya menjadi cermin masyarakat dan ruang eksplorasi, berisiko berubah menjadi produk konsumsi massal yang steril dari makna.
Lucunya, para seniman yang ingin eksis di era digital ini seakan terpaksa harus “berpolitik” dengan algoritma. Menyesuaikan karya agar ‘ramah’ terhadap sistem yang sering kali tidak mereka pahami. Seniman yang dulu berdiri di atas panggung dengan penuh kebebasan, kini harus berdansa mengikuti irama algoritma yang penuh misteri. Dengan cara ini, secara tidak langsung mereka mengorbankan orisinalitas dan keberanian demi jaminan eksposur. Algoritma tak lagi sekadar alat bantu penyebaran karya; ia telah bertransformasi menjadi penguasa–pengendali atas yang mendapat sorotan dan tenggelam dalam ketidakjelasan.
Ironi ini semakin menjadi, ketika kita menyadari bahwa algoritma itu sendiri tak punya rasa atau empati. Ia tak mampu menghargai kompleksitas emosi atau nilai simbolik dalam sebuah lukisan, musik, atau sastra. Ia hanya menghitung, mengukur, dan memutuskan berdasarkan data dan pola interaksi pengguna. Akibatnya, karya-karya yang mengandung kritik sosial tajam, simbol, atau yang membutuhkan pemikiran ekstra, sering kalah saing dengan konten-konten sederhana yang ringan, catchy, dan mudah ‘dicerna’.
Viralitas: Pedang Bermata Dua dalam Dunia Kreativitas
Jika algoritma adalah penguasa, maka viralitas adalah senjata pamungkas yang menentukan popularitas dan daya tahan karya di dunia maya. Viralitas bisa mengangkat karya dari kegelapan–ketidaktahuan menjadi fenomena yang meledak-ledak di jagat maya dalam waktu singkat. Namun, pedang yang tajam ini juga memiliki dua mata yang tak bisa diabaikan.
Viralitas sering menjadi tujuan akhir yang diidamkan. Tak jarang, karya lahir tak lagi untuk menyampaikan pesan, melainkan untuk mendapat reaksi instan: likes, shares, dan komentar berlimpah. Di sini, seni akan mulai bergeser dari sajian ekspresi menjadi sensasi yang tak mengindahkan substansi. Fenomena ini menghasilkan paradoks, di satu sisi, viralitas membuka ruang bagi yang sebelumnya tersembunyi untuk dikenali. Ini tentu menjadi sebuah kemajuan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Di sisi lain, viralitas juga mendorong homogenisasi selera, dan marginalisasi karya yang tidak ‘populer’—meski memiliki kualitas artistik tinggi.
Kesuksesan seni kini diukur bukan dengan apresiasi pada sisi estetika atau kontribusi budaya, melainkan oleh metrik yang kadang terasa absurd: jumlah klik, views, dan interaksi instan yang tak jarang bersifat superfisial. Karya yang paling viral bukan selalu karya terbaik, melainkan karya yang paling cepat menarik perhatian dalam hitungan detik. Hal ini mengkonstruk sebuah narasi ekosistem yang menjebak kreator untuk terus-menerus membuat konten yang “aman” secara algoritmik.
Viralitas tampaknya turut merubah makna seni itu sendiri. Dari semula tumbuh sebagai dialog panjang atas ‘prosesi’, berubah menjadi monolog tanpa jeda yang mengejar perhatian dan puji. Dalam ruang digital yang cepat, eksistensi terjaga bukan karena ‘nilai dan maknanya’ tinggi, melainkan yang paling cepat menggaung dan tersebar.
Isi: Melampaui Kilau dan Kegaduhan
Di balik riuhnya algoritma dan gegap gempita viralitas, ada satu hal yang harus tetap dijaga agar seni tidak kehilangan jiwa. Adalah isi, roh dan esensi yang membedakan seni sejati dari sekadar hiburan atau tontonan kosong. Isi seni bukan sekadar elemen estetik atau gimmick. Isi adalah nilai, makna, dan pesan dalam karya—kemampuan untuk mengajak penikmat berhenti sejenak, merenung, bahkan berubah. Isi mampu membangun narasi budaya yang relevan, memperluas wawasan, dan menghubungkan manusia dalam sebuah kebersamaan autentik yang jauh dari hiruk-pikuk konsumsi massa yang dangkal.
Namun, dalam realitas digital saat ini, isi sering dipaksa berkompetisi dengan kilau superficial dan kegaduhan yang jauh lebih mudah dicerna dan disebarkan. Konten bermakna, harus bersaing dengan banjir meme, video singkat, dan tren yang muncul hanya untuk beberapa jam. Ini tentu menjadi dilema besar bagi para pencipta seni. Haruskah mereka mengorbankan isi demi popularitas? Atau tetap setia pada nilai-nilai artistik, walau risiko terasing dari perhatian publik makin nyata?
Pilihan ini bukan semata persoalan pribadi para, tapi juga representasi atas kondisi sosial yang lebih luas. Nilai-nilai budaya dan estetika sebagai pondasi peradaban kini dipertaruhkan dalam dalam arena digital yang keras dan penuh tipu daya. Jika seni kehilangan isi, maka kita bukan hanya kehilangan karya; tetapi faktanya kita akan kehilangan ruang refleksi dan kritik yang vital bagi kematangan suatu masyarakat.
Sebagai penikmat dan pencipta seni, setiapnya memiliki tanggung jawab untuk tidak membiarkan diri terbuai oleh angka, popularitas semu, dan sensasi instan. Mengajak diri dan orang lain untuk kembali menghargai isi, membuka ruang terciptanya dialog kritis, konstruktif, yang mengedepankan kualitas daripada kuantitas.
Dalam pusaran gelombang teknologi yang terus berubah dan mengaburkan batas antara seni dan algoritma, kita dihadapkan pada sebuah ujian besar. Algoritma yang mengatur tampilan karya, viralitas yang menentukan siapa yang eksis, dan isi yang menjadi jiwa sejati seni—ketiganya berinteraksi dalam drama yang penuh ironi dan kontradiksi.
Sebagai masyarakat yang sadar, kita berhak dan wajib mengkritisi mekanisme ini. Seni tidak boleh hanya menjadi alat komersial, yang hampa makna dan estetika; seni harus tetap menjadi ruang hidup yang kaya makna, inspirasi, dan berdaya mengubah dunia. Dengan kita menjadi penonton dan pelaku yang cerdas. Jangan biarkan diri terbuai oleh gemerlap angka dan popularitas semu. Jadilah aktor yang menuntut kualitas, keberanian, dan keberlanjutan isi dalam seni. Karena hanya dengan begitu, seni benar-benar bisa menjadi cermin dan peta yang menuntun kita memahami dunia dan diri sendiri, di tengah gelombang teknologi yang semakin deras dan penuh teka-teki.