KATA-NYA - Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dimaksudkan pemimpin kultural dalam konteks bangsa Sasak dan secara penteorian yang lebih luas. Pemimpin kultural ialah tokoh yang lahir dari akar rumput, beristana di akar rumput, mewakili satu entitas bangsa bernama Sasak karena itu mempunyai keberterimaan yang mengakar, kuat dan luas di kalangan orang Sasak. Pemimpin yang bersih atau terlepas dari kepentingan politik kuasa atau bisa disebut sebagai pemimpin struktural (topik ini akan saya bahas dalam tulisan berikutnya).
Salah satu masalah utama orang Sasak adalah sangat rentan dengan konflik internal. Mudah terpecah belah lalu tersulut konflik membara antar mereka. Terkait masalah ini, saya berteori bahwa yang bisa mengambil peran penting dalam melerai konflik dan menghindari risiko keterpecahan itu ialah pemimpin kultural. Mari kita melihat penjelasan dasarnya.
Dalam catatan sejarah, bangsa Sasak pernah melalui fasa cukup penting, di mana mereka berada dalam satu arus besar sebagai bangsa. Memiliki kesadaran persamaan nasib, kepentingan, keperluan, dan kehendak atas kebebasan dari belenggu kolonial berpanjangan. Fasa pertama pada era Jero Mihram, merupakan seorang intelektual muslim awal Sasak yang mencetuskan kesadaran kebangsaan Sasak melalui karya besar bernama Lontar Tutur Monyeh.
Meskipun pada masa tersebut konsep Sasak belum tumbuh, namun sekurang-kurangnya kesadaran sebagai orang Lombok yang dijajah sudah muncul dalam arus besar. Melalui Lontar Tutur Monyeh, Jero Mihram bersafari, berkeliling Lombok untuk membangkitkan api kebebasan yang berisiko kepada keselamatan sendiri, yakni berhadapan dengan Karangasem Bali. Jero Mihram sempat dipenajara, namun dilepaskan karena ada desakan kultural yang cukup kuat.
Pada masa itu, pengikut Jero Mihram tidak hanya orang Sasak, namun juga orang Bali dari kalangan kasta bawah yang juga mengalami nasib hampir sama dengan orang Sasak kebanyakan. Dalam perkembangannya nanti, situasi ini dapat membantah teori toleransi di Lombok yang digerakkan oleh penjajah. Dengan kata lain, dalam konteks toleransi sebagai bagian karakter urama orang Sasak, diasaskan oleh orang Sasak sendiri, seperti yang dibuktikan oleh Jero Mihran. Karena salah satu alasan kenapa Jero Mihram dipenjara adalah kekhawatiran kolonial terhadap meluasnya pengaruh Jero Mihram sendiri di kalangan Bali kasta rendah. Lalu apa dasar logika yang menguatkan penjajah sebagai penggerak toleransi di Lombok?
Fasa kedua ialah pada era Guru Dane. Berbeda dengan jero Mihram, Guru Dane bukan intelektual. Tidak pandai membaca dan menulis. Namun karena kekuataan mistik yang dimiliki, Guru Dane mencapai kejayaan yang lebih maju, bahkan dibandingkan Jero Mihram. Maksudnya, kesadaran kebebasan orang Sasak mencakupi kawasan yang lebih luas dan memiliki dampak yang sangat besar.
Sama dengan Jero Mihram, Guru Dane juga diikuti oleh orang Bali dari kalangan bawah yang merasakan nasib serupa dengan orang Sasak. Bahkan tidak sedikit kalangan elit Sasak yang juga tunduk pada kekuatan mistik Guru Dane. Meskipun dalam hal ini, terdapat relasi yang kompleks antara Guru Dane dengan orang Bali, namun hal itu tidak menipiskan dampak luas Guru Dane di tengah orang Sasak. Berbeda dengan Jero Mihram, Guru Dane ditangkap karena ada koalisi jahat antara tiga elit sekaligus, yakni elit Sasak, elit Bali dan Belanda.
Berdasarkan hal tersebut, sedikitnya ada dua hal yang dapat dilihat. Pertama, orang Sasak mempunyai potensi untuk dapat disatukan oleh intelektual dan dan mistikus atau boleh kita sebut sebagai spiritualis lokal. Kedua, usaha kesatuan Sasak itu selalu berhadapan dengan kepentingan yang berbeda dengan elit politik atau kita sebut sebagai elit struktural yang memiliki kepentingan kekuasaan, baik dari kalangan elit Sasak maupun elit luar yang mempunyai kepentingan menguasai ekonomi di Lombok.
Selepas itu, muncul Tuan Guru sebagai figur yang sangat kuat. Pada mulanya, Tuan Guru mengambil peran penting dan strategis dalam usaha membebaskan orang Sasak berpandukan arus ideologi kesatuan Sasak. Meskipun pada era awal ketuanguruan, konsep Sasak sebagai bangsa juga belum wujud secara kuat. Bahkan ketika perlawanan Sasak terhadap Karangasem Bali pun, hampir semuanya digerakkan oleh kelompok Tuan Guru tanpa bendera kesadaran bersama Sasak sebagai bangsa.
Jejak panjang kontribusi Tuan Guru bagi pencerahan bangsa Sasak, sebenarnya dapat ditelusuri dan disambungkan sejak Selaprang Islam. Karena itu, dalam jangka masa yang cukup panjang, Tuan Guru berhasil membangun kesadaran dan menempatkan diri sebagai pemimpin yang berterima secara luas. Tuan Guru menjadi simpul dan simbol dalam setiap perlawanan Sasak sampai di era kemerdekaan Indonesia.
Namun suka tidak suka, dalam perkembangannya, akhirnya Tuan Guru pun terjebak ke dalam kelompok masing-masing. Tuan Guru yang sebelumnya mempunyai jangkauan pengaruh yang luas, lambat laun menyempit hanya terbatas di tengak kelompok mereka. Bahkan, pada akhirnya tidak sedikit konflik internal orang Sasak diaktori oleh Tuan Guru, yang malahan mempunya dampak dendam permusuhkan internal yang lebih akut.
Ruang kosong kepemimpinan orang Sasak yang berpengaruh luas ini cukup panjang, selepas Tuan Guru lebih banyak berpengaruh di kalangan terbatas kelompok mereka. Maka, sekitar tahun 1980an akhir, benih-benih pemimpin kultural itu mulai wujud kembali. Penanda utamanya adalah gerakan kebudayaan melalui arus Dangdut Sasak yang dicetuskan oleh al-Mahsyar. Awalnya mulai Cilokaq, kemudian berkembang ke puncak menjadi Dangdut Sasak, al-Mahsyar dengan terang-benderang menggambarkan tentang realitas orang Sasak kelas bawah. Dari masalah ekonomi sampai perceraian. Dari soal kawin sampai duda-janda. Dari soal mentalitas sampai aqidah-akhlaq.
Dengan lirik yang mendalam, kemudian al-Mahsyar menyampaikan nilai Sasak yang sebenarnya bersumber dari al-Quran. Tema sangat kontekstual dengan melodi yang sangat mewakili jiwa Sasak. Orkes Melayu Dangdut Sasak Pelita Harapan kemudian menjelma menjadi gerakan yang sangat besar, satu pencapaian paling tinggi dalam cataran sejarah membangunkan kesadaran kebangsaan Sasak.
Kemudian dalam masa yang sama, Lalu Nasip AR muncul sebagai figur yang tidak terbendung. Meskipun Lalu Nasip secara kuat melahirkan Drama Penginang Robek dan Genre musik bernama Cibane, namun puncak kegemilangan Lalu Nasip ialah Wayang Sasak. Melalui Wayang Sasak, Lalu Nasip menggambarkan secara lengkap dan detil realitas orag Sasak bawah, sambil mengkritik secara tajam perilaku elit Sasak yang banyak menyimpang dari nilai, norma, dan etika kesasakan. Tidak ketinggalan, kemudian memasukkan pesan moral, etika, dan nilai kesasakan yang berdampak secara mendalam di tengah orang Sasak.
Kedua tokoh penting bangsa Sasak ini mempunyai persamaan. Pertama, memiliki pengaruh yang sangat luas, yakni diterima di semua kalangan dan kelompok masyarakat Sasak. Melalui kedua tokoh hebat ini, orang Sasak melepaskan dan menghancurkan dinding pemisah-pemecah belah yang kejam. Pengikut mereka dari semua kelompok yang ada di tengah orang Sasak. Sasak baik Sasak buruk duduk sama rendah. Sasak kaya Sasak miskin minum sama duduk. Sasak elit Sasak rakyat bawah bersilang tangan. Satu gelombang kebudayaan yang tak pernah ada sebelumnya.
Kedua, sama-sama menyerap dan menginternalisasi ajaran Islam ke dalam karya besar mereka. Untuk itu, mereka dengan mudah diterima. Bahkan dalam konteks metode dakwah, kedua tokoh luar biasa tersebut jauh lebih ke depan dibandingkan Tuan Guru. Ketiga, sama-sama menjadikan akar rumput sebagai istana dan sumber imajinasi. Keempat, sama-sama tidak mempunyai kepentingan politik kuasa. Kelima, sama-sama tidak kaya dari kontribusi besarnya terhadap peradaban Sasak.
Hanya saja, di tengah kekuatan pengaruh kedua tokoh yang tak ada bandingannya itu, muncul persoalan. Terutama dalam mendifiniskan dan memahami pemimpin di kalangan orang Sasak, di mana orang Sasak yang sudah mempunyai catatan sejarah panjang hanya bisa disatukan oleh pemimpin kultural. Kemudian berubah pemahaman tentang kepemimpinan itu kepada pemimpin struktural. Perubahan pemahaman dan penerimaan itu berdampak kepada pergeseran besar ke arah pemimpin struktural sebagai yang arus utama.
Dampak lain yang tidak kalah genting adalah Lalu Nasip dan al-Mahsyar hanya dilihat sebagai kaum intelektual yang tercerahakn. Bahkan yang paling miris adalah mereka hanya disebut sebagai seniman, sebagai penghibur penderitaan panjang orang Sasak. Satu sebutan yang sangat tidak setimpal dibandingkan kontribusi peradaban yang telah mereka sumbangkan. Orang Sasak begitu enggan menempatkan kedua tokoh tersebut sebagai figur sentral yang telah menyatukan bangsa Sasak.
Malang semakin tak terbendung ketika malahan, pemimpin struktural dijadikan sebagai acuan utama. Tanpa menempatkan pemimpin kultural dalam garis yang sejajar dengan pemimpin struktural. Ini dapat menegaskan betapa orang Sasak tidak pandai mengaji sejarah. Tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni untuk merumuskan sejarah kelam sebagai senjata kemajuan. Selain itu, pergesearan tersebut juga telah memperlihatkan betapa orang Sasak telah masuk dalam arus perubahan tanpa ada pegangan teguh kepada sejarah mereka sendiri, yang berpotensi membuat mereka terus mengulang-ulang kesalahan dan kegagalan membangun kesadaran kolektif kebangsaan Sasak.
Padahal sejarah mereka banyak mencatat bagaimana lacurnya nasib orang Sasak di bawah pemimpin struktural. Pemimpin yang bertumpu pada kepentingan politik dan kuasa. Maka, dengan tegas saya nyatakan bahwa dalam situasi semacam itu, terjadi kehilangan logika bangsa Sasak dalam merumuskan kedudukan pemimpin kultural, yang sekali lagi, yang sebenarnya mereka lebih perlukan. Dalam hal ini juga, orang Sasak telah abai dengan menutup mata terhadap sejarah kesatuan mereka sendiri dengan lebih menumpukan kepemimpinan kepada pemimpin struktural. Dengan kata lain, bangsa Sasak yang tidak membangun kesadaran kolektif tentang signifikasi pemimpin kultural ini, akan terus terjebak ke dalam ruang konflik internal yang tak henti-henti mengancam.
Begitulah ketika pemimpin hanya dipahami, dihormati, dijunjung tinggi dalam konteks semata-mata kekuasaan dan politik. Maka jadilah bangsa Sasak telah gagal membangun pola peradaban terkait pemimpin kultural yang telah memberikan kontribusi besar dalam kehormatan sejarah mereka sebagai bangsa.
Malaysia, 21 Agustus 2025

SASAK, BANGSA TANPA PEMIMPIN KULTURAL
Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!
Berita Terbaru Lainnya

SASAK, BANGSA TANPA JALAN KELUAR
KATA-NYA - Bangsa Sasak semakin berada dalam sebuah persimpa...

Dalang Wayang Sasak Lalu Nasib dan Dunia Imajinasi Saya
KATA-NYA - Pertama kali saya mengenal nama Lalu Nasib bukan...

IN MEMORIAM H. LALU NASIP (NASIB) AR: ORANG SASAK TERBAIK
KATA-NYA - Mengenang orang besar bukanlah perkara mudah. Dal...

PARODI BANGSA SASAK
KATA-NYA - Bagi saya, bangsa Sasak adalah bangsa besar. Bang...

Karya Mahasiswa Universitas Bumigora Ramaikan Taman Budaya NTB, Wujud Nyata Kolaborasi Lintas Disiplin
KATANYA-Mataram – Fakultas Seni dan Desain Universitas Bumig...

KATA-NYA di Mataram, Lombok
Kata-nya di Mataram Program Studi Seni Pertunjukan Unniversi...

KATA-NYA di Solo
Kata-nya di Solo Gading Suryadmaja pentas di acara Pasar Ray...

Labirin Royalti Musik: Dari Kicau Burung ke Taylor Swift
KATANYA-Bayangkan Anda sedang bersantai di kafe favorit, men...

Bila Tradisi Lokal Kita Tak Lagi Diarsipkan
KATA-NYA - Apa yang akan kita wariskan jika hari esok datang...

Membaca Simbol Pop dalam Gerakan Sosial
KATANYA-Di sebuah negeri yang amat serius dengan segala atri...