SASAK, BANGSA TANPA JALAN KELUAR

SASAK, BANGSA TANPA JALAN KELUAR

Oleh | Salman Faris -Tanggal 07 September 2025


KATA-NYA - Bangsa Sasak semakin berada dalam sebuah persimpangan rumit, di mana berbagai persoalan sosial dan budaya bermunculan. Akan tetapi hampir tak satu pun di antara persoalan tersebut menemukan penyelesaian yang adil dan bijaksana. Persoalan yang muncul tidak sekadar hal remeh, tetapi juga menyentuh inti kehidupan masyarakat Sasak itu sendiri. Misalnya dari masalah perkawinan, ekspresi seni, hingga upacara tradisi. 

Ironisnya, hampir semua tokoh yang seharusnya memandu arah masyarakat, menacari jalan keluar yang relevan dalam asas kerkeadilan dengan tidak menyudutkan salah satu kemudian menyanjung tinggi yang lain, malah bersikap sepihak. Pemuka masyarakat, mulai dari tokoh agama, pemerintah, kaum terpelajar, hingga lembaga adat hanya sibuk mengeluarkan kutukan keras tanpa menggali akar masalah secara mendalam dan komprehensif lalu merumuskan jalan keluar yang arif. Akibatnya, masyarakat Sasak terperangkap dalam lingkaran penghakiman yang normatif, elitis, dan tidak menyentuh realitas rakyat bawah. Elit menjadi hakim yang tidak adil dan bijaksana sedangkan rakyat kecil selalu ditempatkan sebagai terdakwa. 

Kasus perkawinan di bawah umur menjadi salah satu contoh paling benderang dari fenomena Sasak tanpa jalan keluar. Hampir setiap tahun media memberitakan praktik perkawinan anak bawah umur di Lombok. Tidak bisa dielakkan bahwa perkawinan bawah umur berakar pada tradisi kawin lari atau merariq yang masih melekat dalam kultur Sasak. Kebiasaan yang sebenarnya bukan otentik budaya Sasak. Namun sudah telanjur menjadi pilihan paling umum sebagai cara berkawin. Bahkan, dunia luar tahu, hanya itulah cara orang Sasak kawin. Padahal sekali lagi, itu merupakan peniruan budaya luar, yang karena dianggap sebagai cara paling umum, maka jadilah identik dengan orang Sasak. 

Akibatnya, begitu kasus tersebut mencuat, segera lahir hujan kutukan dari berbagai pihak. Tokoh agama mengutuk dengan alasan bertentangan dengan ajaran Islam. Pemerintah mengecam karena melanggar aturan hukum positif. Kaum terpelajar menolaknya dengan mengacu pada data kesehatan, psikologi, dan masa depan pendidikan anak. Bahkan tokoh budaya dan lembaga adat seperti Majelis Adat Sasak (MAS) tidak ketinggalan ikut mengutuk.

Dalam konteks MAS, kutukan yang diberikan amat mengelirukan, karena seharusnya MAS mengambil pososi jalan tengah. Sebagai lembaga yang mengklaim diri berbasis orang Sasak, MAS tidak boleh berdiri sebagai hakim. Harus berdiri sebagai penyemibang. Jika MAS sudah terlibat dalam kelompok yang serba menyalahkan, serba menilai keburukan, serba memojokkan masyarakat, serba paling benar, serba harus diiukuti, maka MAS tak lebih dari sekadar lembaga formalistik yang kemanfaatannya hanya untuk kalangan elit. Ini berarti MAS sahih disebut sebagai perpanjangan tangan budaya feodal yang menutup diri terhadap segala kemungkinan perkembangan budaya orang Sasak.

Semakin malang menimpa orang Sasak karena di balik banjir kutukan itu, hampir tidak ada langkah konkret yang sungguh-sungguh menjawab akar masalah. Sebab persoalan perkawinan anak bukanlah soal moral belaka. Bukan hanya soal risiko kesehatan. Bukan saja soal kerentanan perceraian dini. Namun lebih kompleks dari semua itu, sebab perkawinan bawah umur juga soal kemiskinan struktural, keterbatasan akses pendidikan, pengangguran, pembagian kesejahteraan yang tidak adil, informasi yang tidak tersaring, imbas budaya global, konstruksi tempat tinggal, kebiasaan kolektif, dan konstruksi sosial tentang harga diri keluarga.

Misalnya, ketika seorang gadis yang terlambat pulang ke rumah, sering kali jalan pintas yang ditempuh adalah perkawinan bawah umur. Dalam hal ini menjaga marwah keluarga menjadi tumpuan. Namun dimensi sosiologis ini hampir tidak pernah disentuh oleh para pengutuk. Yang terjadi hanya penghakiman normatif bahwa perkawinan anak adalah salah. Tanpa ada usaha membangun alternatif yang adil, seperti pemberdayaan ekonomi secara luas, pendidikan seksual yang memadai dalam setiap lapisan masyarakat, pengembangan paradigma masjid dan pondok pesantren yang lebih berkemajuan dan terbuka. 

Termasuk penglibatan semua pihak sebagai kesatuan pencegahan. Begitu juga terkait pengembangan lembaga adat seperti MAS menjadi lebih organik, egaliter, terbuka, dan modern. Tidak kalah penting ialah membuka ruang dialog kultural yang sehat. Dialog kultural yang setara. Elit dan rakyat bawah duduk bersama untuk membuka ruang berpikir yang lebih luas. 

Fenomena serupa terjadi pada kontroversi Ale-ale, sebuah hiburan rakyat berupa joget yang kerap dituding vulgar. Setiap kali hajatan rakyat menampilkan Ale-ale, suara-suara kecaman segera menggema. Tokoh agama menyebutnya sebagai perusak moral, pemerintah menilainya tidak sesuai etika publik, kaum terpelajar menganggapnya merendahkan martabat budaya, dan tokoh adat menilainya sebagai bentuk kebiadaban yang mencoreng nilai adiluhung Sasak. 

Sekali lagi, orang Sasak terjerembab ke ruang budaya tanpa jalan keluar. Tidak ada yang berusaha memahami mengapa Ale-ale begitu populer di kalangan masyarakat bawah. Mereka yang ikut menari dalam Ale-ale bukanlah orang-orang yang ingin merusak budaya, melainkan rakyat kecil yang haus hiburan, generasi muda yang tidak memiliki ruang ekspresi, atau masyarakat miskin yang menjadikan hajatan sebagai satu-satunya arena kegembiraan bersama. Ale-ale sebagai sumber ekonomi, sebagai ruang ekspresi kolektif atas kebekuan yang banyak ditimbulkan oleh elit. Ale-ale sebagai simbol perlawanan atas kemandekan budaya yang dipaksa bertahan tanpa ada kesadaran perubahan. Ale-ale sebagai produk kreatif orang Sasak. 

Sungguh malang, karena jangankan menyelami semua konteks tersebut, para elit justru memandang Ale-ale hanya dari sudut salah-benar, moral-amoral, luhur-rendah. Akibatnya, Ale-ale tidak pernah ditangani sebagai fenomena sosial yang kompleks, melainkan sekadar objek kutukan. Dalam hal ini, seharusnya para elit lebih arif berpikir bahwa tentu saja masyarakat Sasak tidak bodoh untuk menerima secara luas Ale-ale. 

Jika Ale-ale dirasa mengancam ekosistem mereka, sudah tentu tak ada sambutan luas. Karena itu, penyelesaian menggunakan cara kaca mata kuda berpotensi semakin menguatkan jurang antara elit dan realitas masyarakat Sasak bawah. Elit sebaiknya berpikir bahwa setiap budaya baru yang muncul di tengah masyarakat Sasak bukan sepenuhnya ancaman, tetapi juga sekaligus dapat dijadikan medan untuk membangun kearifan baru.

Kasus nyongkolan memperlihatkan pola serupa. Nyongkolan, prosesi pengantaran pengantin yang diiringi musik tradisional, kerap menuai kontroversi karena dianggap mengganggu lalu lintas, menimbulkan keributan, atau melahirkan aksi hura-hura yang jauh dari makna sakral pernikahan. Namun, sebagaimana kasus yang lain, solusi yang ditawarkan tidak pernah benar-benar komprehensif. 

Nyongkolan hanya ditempatkan sebagai masalah yang harus dibatasi, ditertibkan, atau bahkan dihapuskan, tanpa ada upaya mencari cara agar tradisi ini bisa tetap hidup secara arif dalam konteks modern. Padahal nyongkolan adalah ekspresi budaya kolektif yang merekatkan komunitas, ruang sosial tempat orang Sasak merayakan identitas bersama. Jika hanya dipandang sebagai masalah, maka tradisi ini akan terus menuai kontroversi tanpa pernah menemukan bentuk baru yang lebih relevan. Dengan demikian, bangsa Sasak sekali lagi memperlihatkan diri sebagai bangsa tanpa jalan keluar, karena gagal mengolah tradisi menjadi kearifan baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Dari tiga kasus tersebut terlihat jelas bahwa pola respons para elit selalu sama yakni mengutuk dari sudut normatif dan elitis tanpa menyelami akar persoalan. Kutukan moral, larangan administratif, atau kecaman adat hanya menambah tebal jurang antara elit dengan rakyat bawah. Rakyat merasa tidak diwakili, karena suara mereka tidak pernah didengar. Mereka hanya menjadi objek penghakiman, bukan subjek yang diajak berdialog. Padahal, masalah sosial dan budaya tidak bisa diselesaikan dengan kutukan. Tetapi diperlukan pemahaman mendalam atas konteks hidup rakyat. Selama para elit terus memandang masalah hanya dari menara normatif, bangsa Sasak akan terus menjadi bangsa tanpa jalan keluar.

Konsekuensi dari kebuntuan ini sangat besar. Pertama, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap elit. Sasak tidak memiliki tokoh sentral. Karena setiap kali masalah muncul, rakyat tahu bahwa yang akan datang hanyalah kutukan, bukan solusi. Kedua, kebudayaan terjebak dalam stagnasi. Jangankan bergerak dinamis menyesuaikan diri dengan realitas baru, kebudayaan Sasak membeku dalam wacana nilai adiluhung yang hanya diulang-ulang. Ketiga, generasi muda merasa tercerabut dari akar budaya yang relevan, karena setiap ekspresi baru yang mereka lahirkan selalu dicap sebagai penyimpangan. Situasi ini berpotensi menimbulkan alienasi. Generasi muda tidak lagi merasa bangga sebagai bagian dari budaya Sasak. Dalam masa yang sama, juga tidak memiliki ruang untuk menciptakan identitas baru.

Atas dasar itu, saya melihat bahwa Sasak adalah bangsa yang sibuk mengutuk masalah tanpa pernah menjadikannya peluang untuk melahirkan kebijaksanaan baru. Jalan keluar selalu buntu karena pandangan elitis dan normatif menutup kemungkinan lahirnya solusi alternatif. Bukan memperkaya budaya dengan inovasi dan invensi, masyarakat justru dikurung dalam penghakiman moral. Elit justru mempertebal jarak dengan rakyat bawah. Bukan memperkuat solidaritas sosial ruang, membangun tafsir, dan ekspresi seni-budaya baru. Akhirnya, bangsa Sasak justru terus-menerus dihadapkan pada rasa malu yang tak masuk akal dan kutukan membabi buta.

Dalam situasi apa pun, perkawinan di bawah umur, Ale-ale, dan nyongkolan tidak seharusnya dipandang hanya sebagai penyimpangan. Lebih konstruktif dan strategis dipandang sebagai cermin yang memperlihatkan kegelisahan sosial, kebutuhan rakyat bawah, dan dinamika budaya yang hidup. Dari sana, bangsa Sasak bisa merumuskan nilai baru yang lebih relevan, lebih arif, dan lebih berkeadilan.

Dengan begitu, bangsa Sasak bisa menemukan jalan keluar yang bukan sekadar larangan atau kutukan. Tetapi juga rekonstruksi kultural yang menggabungkan nilai yang masih relevan dengan kebutuhan baru. Dengan begitu, jalan keluar tidak hanya menguntungkan elit, namun sekaligus memberi ruang bagi rakyat bawah untuk bersuara. 

Jalan keluar seharusnya tidak sekadar menjaga kewibawaan elit, tetapi juga membangun kebijaksanaan kolektif. 


Malaysia, 20 Agustus 2025.

Bagikan: WhatsApp Instagram Facebook Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!