Dalang Wayang Sasak Lalu Nasib dan Dunia Imajinasi Saya

Dalang Wayang Sasak Lalu Nasib dan Dunia Imajinasi Saya

Oleh | Harianto -Tanggal 30 August 2025


KATA-NYA - Pertama kali saya mengenal nama Lalu Nasib bukan lewat panggung, bukan pula dari layar kaca. Perjumpaan itu bermula dari pita kaset rekaman suara tokoh-tokoh pewayangan yang diciptakannya.

Terus terang, sejak kecil saya bukan penggemar wayang kulit. Bagi anak kecil di kampung kala itu, wayang sering terasa terlalu panjang dan asing. Tetapi suara-suara dari kaset tua di rumah justru membuka ruang imajinasi yang tak terbatas. 

Di usia kelas satu sekolah dasar, saya diam-diam berlayar dalam dunia bunyi. Suara-suara itu menjelma wajah, tubuh, dan gestur tokoh-tokoh rekaan yang seakan hidup dalam kepala saya.

Ada Amaq Kesek dengan suaranya yang khas, Amaq Amet yang kocak, Amaq Baok yang suka membantah, dan Inaq Itet yang cerewet. Belakangan muncul pula Amaq Beko, tokoh yang kelak begitu melekat pada ingatan saya.

Awalnya saya mengira tokoh-tokoh itu diperankan oleh banyak orang, seperti sandiwara radio Tutur Tinular atau Saur Sepuh yang kala itu populer. Ternyata semuanya berasal dari satu mulut: Lalu Nasib. Ia sanggup memecah diri menjadi sekian karakter, lengkap dengan aksen, intonasi, dan kejenakaan masing-masing. Satu pita kaset, satu suara, seribu dunia.

Di rumah, tak ada kaset lain selain rekaman Lalu Nasib. Radio tua kami lebih sering dipakai mendengarkan sandiwara. Namun perlahan, suara-suara Lalu Nasib justru lebih melekat daripada siaran lain. 

Saya bahkan hafal betul setiap lenggok suara tokoh yang diperankannya. “Luar biasa setil gati,” begitu saya sering bergumam dalam hati, mengagumi kepiawaian sang dalang.

Bertahun-tahun kemudian, setelah saya pindah ke Mataram, perjumpaan dengan karya Lalu Nasib kembali hadir. Kali ini lewat layar televisi. Stasiun lokal Lombok TV kerap menayangkan pagelaran wayangnya setiap Sabtu malam.

Saya yang saat itu aktif di UKM Teater Putih Unram bersama sejumlah kawan tak pernah melewatkan acara itu. Dengan televisi hitam putih merek Sharp di sekretariat, kami menyimak lakon demi lakon. 

Begitu selesai, malam Minggu kami lanjutkan dengan diskusi seru: mengulang-ulang dialog, menirukan suara, bahkan memperdebatkan kelucuan tokoh tertentu.

Kegembiraan itu kemudian melahirkan ide. Kami sepakat membuat naskah lakon sendiri dengan memerankan tokoh-tokoh pewayangan ala Lalu Nasib. Saya kebagian peran sebagai Amaq Beko.

“Kamu cocok jadi Amaq Beko. Nanti saya yang jadi Amaq Kesek,” ujar seorang kawan.

Sejak saat itu, nama Amaq Beko melekat pada diri saya. Bahkan sampai hari ini, sebagian teman masih suka memanggil saya dengan nama tokoh itu. Sesuatu yang awalnya hanya permainan, kini menjadi bagian kecil dari identitas saya.

Antara Nama dan Ingatan

Ada satu hal menarik bagi orang Mbojo, “Beko” adalah nama alias dari Abu Bakar. Kebetulan masa kecil dan sekolah saya sempat di Bima. Maka seakan takdir mempermainkan, peran Amaq Beko dalam lakon itu justru menemukan jodohnya dengan nama dan riwayat pribadi saya.

Di situlah saya merasa, karya seni kadang bergerak melampaui panggung. Ia masuk ke ruang paling personal, mengendap, lalu membentuk cara orang lain memandang diri kita. 

Lalu Nasib dengan tokoh-tokoh ciptaannya tak sekadar memberi hiburan. Ia meninggalkan jejak dalam keseharian, dalam panggilan nama, bahkan dalam ingatan yang melampaui waktu.

Tidak banyak orang yang benar-benar tahu luasnya karya Lalu Nasib. Sebagian mengenalnya hanya sebagai dalang wayang kulit Sasak, padahal ia juga seorang pencipta suara, penutur, dan pengolah imajinasi. Karya-karyanya hidup dalam pita kaset, di panggung wayang, di layar televisi, hingga dalam ingatan kolektif penontonnya.

Bagi saya pribadi, Lalu Nasib adalah jembatan. Ia menghubungkan dunia tradisi yang sering terasa jauh dengan pengalaman sehari-hari yang akrab. Suara-suara tokohnya membuat wayang tidak lagi sekadar tontonan ritual, melainkan cerita hidup yang bisa saya ikuti, tiru, dan ulang-ulang.

Kenangan bersama kawan-kawan teater—yang menonton, menirukan, lalu menjadikan tokoh-tokoh itu bagian dari permainan kami—membuktikan bahwa karya seni tidak pernah berhenti pada saat dipentaskan. Ia menjelma percakapan, candaan, bahkan persahabatan.

Kini, bertahun-tahun kemudian, setiap kali nama Amaq Beko disebut, saya selalu teringat pada dua hal: masa kecil dengan pita kaset National yang berputar di ruang tamu, dan malam-malam di sekretariat UKM Teater Putih dengan televisi hitam putih. Dua ruang sederhana, tapi penuh gema suara Lalu Nasib.

Seni, rupanya, bekerja dengan cara seperti itu. Ia tidak selalu hadir sebagai pertunjukan besar. Kadang ia sekadar rekaman tua yang membuat seorang anak kecil berimajinasi. 

Kadang ia tayangan Sabtu malam yang menyalakan percakapan panjang. Dan kadang, ia menetap dalam panggilan nama, menjadi identitas kecil yang dibawa seumur hidup.

Mengenang Lalu Nasib bukan hanya mengenang seorang dalang atau pencipta tokoh wayang Sasak. Lebih dari itu, mengenangnya berarti mengingat kembali bagaimana seni bisa menanamkan makna, mengikat pertemanan, dan memberi kita cara baru untuk melihat diri sendiri.

Selamat jalan sang maestro dalang Wayang Sasak: Lalu Nasib AR yang berpulang pada Jumat, 29 Agustus 2025 ini. Karya-karyamu akan terus abadi di hati dan ingatan kami.***

Bagikan: WhatsApp Instagram Facebook Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!