KATA-NYA - Bagi saya, bangsa Sasak adalah bangsa besar. Bangsa Sasak sungguh-sungguh bangsa yang besar. Untuk ukuran Indonesia, bangsa Sasak berada di urutan ke-13 jumlah populasi paling banyak. Kira-kira 3 juta 200 ribu. Sembilan kali lipat dibanding jumlah orang Sumbawa yang duluan jadi menteri. Lima kali lipat lebih banyak dibanding orang Bima yang juga jauh lebih dulu menjadi menteri dan gubernur. Namun begitu, kebesaran bangsa Sasak begitu mutlak, sehingga hampir tidak ada ruang untuk mengatakan sebaliknya.
Kalau ada yang nekat menyebut Sasak sebagai bangsa kecil, meneriakkan bangsa kalah, atau mengguraukan Sasak sebagai bangsa kerdil, maka kata-kata itu akan terdengar sebagai penghinaan. Membangkitkan amarah melebihi panas lahar gunung. Bisa menghunus keris yang sudah disimpan ratusan tahun. Walaupun dalam hati kecil sebagian orang Sasak yang lain mungkin diam-diam mengakuinya. Atau setuju jika saya mengatakan Sasak sebaliknya dari bangsa besar.
Bangsa Sasak sudah terlalu lama diyakinkan oleh diri sendiri dan oleh sejarah bahwa mereka adalah bangsa besar. Keyakinan itu menjadi begitu kuat, sehingga apapun yang terjadi, betapapun kenyataan di hadapan mata memperlihatkan luka, kemiskinan, keterpinggiran, keterjajahan, keterasingan, kekalahan yang tiada habis-habisnya, bangsa Sasak tetap merasa bahwa mereka adalah bangsa besar. Seolah-olah kebesaran itu bukanlah soal pencapaian, melainkan suatu takdir yang tidak boleh digugat. Seakan-akan kebesaran itu bukan ilmu pengetahuan dan peradaban, tetapi sebuah kepastian dan hadiah dari Tuhan yang tak boleh dipertikaikan.
Kalau anda berkata Sasak itu lemah, orang akan menganggap anda pengkhianat. Kalau anda bilang Sasak itu tidak mampu mengurus diri sendiri, tidak bisa membela diri sendiri, tidak pandai belajar dari alam dan sejarah sendiri, tidak bisa membumi di lautan nasib sendiri, sudah pasti atau saya jamin sejuta persen anda akan dicap memalukan identitas leluhur. Dan bila anda menuduh Sasak itu hanya jadi pelayan bagi bangsa lain, budak bagi turis, pencuci kaki para kaya dari pusat negara, maka anda akan dipelototi seakan-akan anda sudah merendahkan marwah sebuah bangsa yang punya sejarah kerajaan. Punya tradisi besar, punya adat yang tak tergoyahkan. Pasti dipandang sebagai orang yang meruntuhkan bangsa yang mempunyai leluhur tidak tertandingi di dunia.
Jangan pernah anda katakan bangsa Sasak sebagai yang terbelakang mengenal agama. Mereka akan terus berteriak bahwa agama besar lahir di perut mereka. Apalagi kalau anda berpikir orang Sasak lebih belakang Islam, mereka akan terus bersilat penuh marah sambil menyatakan bahwa bangsa Sasak lebih dulu Islam dibandingkan nabi Muhammad. Atau jangan coba-coba anda berseloroh, banyak adat, budaya, seni bangsa Sasak hampir 100 persen identik dengan Bali. Mereka akan terus menerjang anda dengan mengatakan Bali yang mencontoh bangsa Sasak.
Anda tahu kenapa bangsa Sasak begitu reaksioner jika disinggung soal kebesaran mereka? Itu karena seperti yang saya katakan di awal tadi. Bangsa Sasak adalah bangsa besar, yang kebeserannya tidak bisa diganggu-gugat. Sebab kebesaran bangsa Sasak ialah absolut.
Saya tidak akan melanjutkan dengan sinisme murahan. Saya tidak akan mengatakan bahwa bangsa Sasak itu besar hanya dalam kemiskinan, besar dalam ketundukan, besar dalam perasaan minder dan kompleks. Saya tidak akan berkata mereka besar hanya dalam konflik internal yang diwariskan turun-temurun, besar dalam perselisihan warisan tanah, besar dalam kecemburuan sosial, atau besar dalam menjadi penonton kemajuan bangsa lain. Tidak. Itu terlalu gampang.
Saya lebih suka mengatakan dengan jujur bahwa bangsa Sasak adalah bangsa yang sungguh besar karena ketabahan. Bangsa Sasak punya dada yang luas untuk menerima segala sesuatu, termasuk ketidakadilan yang paling telanjang sekali pun. Mereka sanggup menelan luka tanpa suara. Mereka mampu menundukkan kepala walaupun kaki diinjak sejarah dan nasib kemajuan. Dan mereka tetap bisa berkata sabar, ini sudah suratan. Dalam hati yang terluka, orang Sasak masih boleh tersenyum sambil berkata, besok akan lebih baik. Walaupun besok itu tidak akan pernah datang dalam kemenangan.
Kebesaran bangsa Sasak justru terletak pada kemampuan mereka untuk menaklukkan diri sendiri. Lebih besar dari segala derita yang mereka tanggung. Lebih besar daripada sejarah penaklukan Karangasem di Lombok yang menorehkan luka panjang. Lebih besar dari marginalisasi dalam politik antar-provinsi. Lebih besar dari penggusuran tanah adat, dari pariwisata yang hanya menjadikan tanah mereka sebagai etalase eksotis tanpa mengangkat kehidupan mereka sendiri. Bagi mereka, untuk selamanya bangsa Sasak jauh lebih besar dari kemajuan yang hanya membuat mereka bangga namun nasib tetap di kolong kemelaratan.
Bangsa Sasak adalah bangsa yang tidak mudah kaget. Kalau pemerintah seenaknya menggusur kampung, orang Sasak hanya sebentar mengeluh, lalu setelah itu kembali menyesuaikan diri. Kalau pariwisata internasional merampas laut, tanah, udara, dan semua isi yang terkandung di dialamnya, mereka hanya bergumam lirih sambil tetap menonton peresean yang tidak jelas itu. Kalau elit politik Sasak sendiri berkhianat, orang-orang hanya menggelengkan kepala sambil berkata, begitulah nasib kita. Mule ie nasib awak. Lalu terus menghisap rokok sambil mendendangkan lagu-lagu kesengsaraan.
Mereka tidak gampang marah, apalagi bersatu. Seribu macam penindasan struktural, perampasan sumber daya, dan permainan politik birokrasi tidak cukup untuk membuat mereka benar-benar bangkit. Paling jauh hanya ada segelintir yang berani berteriak, tetapi suara mereka cepat tenggelam oleh kebiasaan lama, yakni pasrah. Perlawanan yang ada pun sporadis, lokal, dan jarang bertahan lama. Dalam hal ini, bangsa Sasak memang benar-benar tidak ada duanya di dunia ini dalam soal bangsa besar yang tidak bisa bersatu.
Dan di situlah letak kebesaran bangsa Sasak. Mereka mampu memaafkan hal-hal yang seharusnya tidak bisa dimaafkan. Mereka bisa menganggap wajar apa yang semestinya tidak wajar. Mereka bisa menertawakan penderitaan mereka sendiri. Mereka bisa hidup di dalam jurang kemiskinan sambil tetap berbangga bahwa mereka punya budaya besar, punya tari tradisional, punya gendang beleq, punya tradisi merariq, punya leluhur yang mulia. Dan jutaan punya yang lain. Meskipun tidak bisa dibuktikan.
Bangsa Sasak juga lebih besar daripada logika. Kalau orang berkata keadilan harus ditegakkan, Sasak bisa berkata, keadilan itu relatif. Kalau orang berkata tanah adat harus dipertahankan, Sasak bisa dengan enteng berkata, tanah itu memang bukan milik kita lagi. Sangat mudah berkata bahwa sudah diatur pemerintah. Kalau hari ini mereka mengucap sumpah, esoknya sumpah itu bisa dihapus begitu saja tanpa rasa bersalah.
Kebesaran bangsa Sasak juga tampak pada hubungan mereka dengan agama. Orang Sasak selalu berkata Islam adalah nafas hidup, tetapi agama itu pun kerap dijadikan alat untuk mempertahankan struktur lama. Tuhan dibawa ke masjid dan ke pondok, tetapi di pasar dan di birokrasi, Tuhan diletakkan di luar pagar. Namun orang Sasak merasa tenang-tenang saja. Mereka tidak merasa berdosa, sebab dalam kebesaran mereka, semua bisa dijustifikasi.
Kalau perlu, Tuhan pun mereka atur sesuai keperluan. Ayat-ayat suci dipetik saat ada keperluan dan kepentingan. Doa dipanjatkan saat meresmikan hotel, tempat maksiat sekaligus tempat ibadah. Bahkan dalam ritual adat pun nama Tuhan tidak pernah absen, meskipun hakikat adat itu sangat banyak justru bertentangan dengan ajaran Islam. Bangsa Sasak sanggup memberi kapling bagi Tuhan, sama seperti mereka memberi ruang bagi adat, bagi turis, bagi investor, bagi siapa pun yang datang. Semua dapat bagian. Demokratis sekali. Anda sudah semakin paham sekarang apa yang saya katakan di awal bahwa bangsa Sasak ialah bangsa super besar.
Maka jangan heran bila bangsa Sasak tetap merasa besar meskipun pariwisata Lombok dikuasai orang luar. Mereka tetap merasa besar meskipun anak-anak muda harus merantau jadi buruh di Malaysia. Mereka tetap merasa besar meskipun lautan dirampas, tanah dijual murah, dan hasilnya tidak kembali ke tangan mereka. Karena bangsa Sasak memang besar. Terlalu besar untuk merasa terganggu oleh kenyataan.
Bahkan dalam hal kebenaran dan keadilan, bangsa Sasak menunjukkan kelapangan dada yang luar biasa. Mereka rela membiarkan kebohongan duduk berdampingan dengan kebenaran. Mereka memberi ruang yang sama untuk keadilan dan ketidakadilan, untuk kejujuran dan penipuan, untuk kesalehan dan kemunafikan. Semua diberi kesempatan hidup. Karena menurut bangsa Sasak, semua itu adalah ciptaan Tuhan juga. Tidak boleh dianaktirikan.
Kita boleh menyebut bangsa Sasak sebagai bangsa yang memiliki jiwa kosmik. Mereka tidak pernah menolak kenyataan apa pun. Semua diterima sebagai takdir. Dan takdir itu bisa ditafsir ulang sesuai keperluan. Hari ini bisa begini, besok bisa begitu. Tidak ada yang benar-benar mengikat. Angka, kata, sumpah, hukum adat, etika, semua hanyalah pemanis kebesaran Sasak itu. Manusia Sasak lebih tinggi kedudukannya daripada aturan-aturan itu.
Tetapi dari situlah ironi sekaligus parodi bangsa Sasak. Kebesaran itu sering berubah menjadi alasan untuk tidak bergerak. Kelapangan dada itu sering menjelma menjadi kelalaian. Kemurahan hati itu sering membuat mereka kehilangan hak-haknya. Bangsa Sasak akhirnya menjadi bangsa yang besar dalam bertahan, tetapi tidak besar dalam melawan. Besar dalam menerima, tetapi kecil dalam merebut.
Namun, justru karena itulah bangsa Sasak istimewa. Di tengah derasnya modernisasi, mereka tetap bisa tenang. Di tengah ancaman yang kelak turis akan telanjang dan mabuk di setiap sudut Lombok, mereka tetap puasa dan naik haji. Di saat banyak bangsa lain bergejolak, bangsa Sasak tetap bersenyum. Mereka tetap bisa menggelar gendang beleq, tetap bisa menari peresean, tetap bisa mengadakan roah. Seakan-akan dunia tidak pernah melukai mereka. Dan mungkin, di situlah kebesaran sejati itu berada.
Bangsa Sasak adalah bangsa yang sangat besar. Besar dalam sabar. Besar dalam pasrah. Besar dalam cara merangkul semua hal, bahkan keburukan sekalipun. Maka jangan heran kalau sampai hari ini bangsa Sasak tetap ada, tetap utuh, meskipun telah berabad-abad didera penjajahan, penaklukan, kemiskinan, dan keterpinggiran. Kebesaran itu membuat mereka tidak pernah benar-benar hilang.
Bangsa Sasak akan terus menjadi bangsa yang besar. Besar dalam menerima apapun yang datang. Menerima kehilangan bangsa sendiri karena ditelan budaya turis yang terus membanjiri tanpa dapat dikendali. Besar dalam ketabahan, dalam halusinasi, dalam mimpi-mimpi yang mungkin tak pernah jadi nyata. Dan barangkali, dalam kebesaran yang penuh parodi inilah, bangsa Sasak menemukan cara paling unik untuk bertahan di dunia yakni dengan tidak pernah benar-benar merasa kalah. Tidak pernah merasa dijajah. Tidak pernah merasa ditipu. Sekaligus tidak pernah merasakan maju dan unggul.
Malaysia, 17 Agustus 2025.

PARODI BANGSA SASAK
Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!
Berita Terbaru Lainnya

SASAK, BANGSA TANPA PEMIMPIN KULTURAL
KATA-NYA - Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dima...

SASAK, BANGSA TANPA JALAN KELUAR
KATA-NYA - Bangsa Sasak semakin berada dalam sebuah persimpa...

Dalang Wayang Sasak Lalu Nasib dan Dunia Imajinasi Saya
KATA-NYA - Pertama kali saya mengenal nama Lalu Nasib bukan...

IN MEMORIAM H. LALU NASIP (NASIB) AR: ORANG SASAK TERBAIK
KATA-NYA - Mengenang orang besar bukanlah perkara mudah. Dal...

Karya Mahasiswa Universitas Bumigora Ramaikan Taman Budaya NTB, Wujud Nyata Kolaborasi Lintas Disiplin
KATANYA-Mataram – Fakultas Seni dan Desain Universitas Bumig...

KATA-NYA di Mataram, Lombok
Kata-nya di Mataram Program Studi Seni Pertunjukan Unniversi...

KATA-NYA di Solo
Kata-nya di Solo Gading Suryadmaja pentas di acara Pasar Ray...

Labirin Royalti Musik: Dari Kicau Burung ke Taylor Swift
KATANYA-Bayangkan Anda sedang bersantai di kafe favorit, men...

Bila Tradisi Lokal Kita Tak Lagi Diarsipkan
KATA-NYA - Apa yang akan kita wariskan jika hari esok datang...

Membaca Simbol Pop dalam Gerakan Sosial
KATANYA-Di sebuah negeri yang amat serius dengan segala atri...