KATA-NYA - Apa yang akan kita wariskan jika hari esok datang lebih cepat dari yang kita duga? Di antara suara kentongan yang perlahan makin jarang terdengar, di sela ritus yang kian sayup dan ingatan yang mulai pudar, kita berdiri di persimpangan antara melanjutkan atau melupakan.
Tradisi bukan hanya sekadar masa lalu yang harus dikenang, melainkan napas yang mesti dirawat agar tetap hidup dan bertumbuh di tubuh zaman yang kian sungsang.
Dalam pusaran waktu yang cepat, produk budaya atau tradisi lokal kita pelan-pelan menyusut. Satu per satu, para maestro tradisi wafat tanpa sempat menularkan pengetahuannya kepada generasi berikutnya.
Ada tiga pilar utama di dalam kerja pengarsipan: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, sebagaimana tertuang dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2014.
Namun, seringkali aturan hanya tinggal aturan. Sebab yang menghidupkan hukum yang dibuat itu bukan teksnya, melainkan kesadaran manusianya.
Perlindungan tradisi, misalnya, mestinya dimulai dari kerja-kerja sederhana dengan cara mencatat, mendokumentasi, menyimpan, dan mengarsipkan.
Itu bukan hanya untuk keperluan administrasi atau hak kekayaan intelektual komunal, melainkan sebagai usaha menenun kembali jati diri yang mulai koyak.
Tapi mari kita jujur pada diri sendiri: sudahkah kita sungguh-sungguh melakukan itu?
"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata," tulis WS Rendra dalam sajak Paman Doblang. Kata-kata yang seharusnya menyengat nurani kita. Kita terlalu sering bicara tentang kebudayaan, tetapi terlalu jarang menjenguknya di rumah-rumah yang hampir ambruk.
Di banyak desa, para penggiat literasi dan komunitas seni bekerja nyaris tanpa peta. Mereka menyelenggarakan pertunjukan, ritual, dan pelatihan—lalu berlanjut ke peristiwa berikutnya tanpa menyimpan rekaman apapun.
Dokumentasi jadi kemewahan yang hanya mungkin dilakukan jika ada waktu dan tenaga tersisa. Padahal, di sanalah sebetulnya denyut kebudayaan itu merekam dirinya sendiri.
Kearsipan bukan sekadar kegiatan administratif. Ia adalah bentuk penghormatan pada jejak kehidupan. Ia adalah cara untuk berkata, "Kami pernah ada. Ini kisah kami."
Arsip adalah saksi bisu yang tak bisa membela diri jika kita memilih untuk tidak menyelamatkannya. Arsip, dalam bentuk apapun—foto, video, tulisan tangan, rekaman audio, laporan kegiatan, bahkan coretan dinding—menyimpan nyawa tradisi yang tak terlihat.
Bayangkan satu prosesi adat di kampungmu. Berapa banyak yang hadir? Berapa yang mengingat urutan ritualnya? Siapa yang bisa mengisahkan nilai atau makna simbol di baliknya jika orang tua yang menyelenggarakannya kelak tiada?
Inilah alasan kenapa pengarsipan mesti menjadi gerakan bersama. Ia tidak harus menunggu kebijakan dari pusat atau provinsi.
Di tingkat tapak, komunitas bisa memulainya: satu kamera ponsel, satu buku catatan, satu folder di komputer desa. Dari hal yang sederhana, peradaban pernah dibangun. Dan dari hal yang luput terarsip, maka nilai sejarah tempatan bisa lenyap.
Arsip Sebagai Pengetahuan
Arsip juga adalah sumber pengetahuan. Arsip sebagai bahan baku riset, sandaran kajian, dan batu loncatan bagi generasi muda untuk memahami siapa diri mereka.
Dari kerja-kerja pengarsipan yang telaten, kita bisa menelusuri benang merah nilai-nilai lokal dengan persoalan-persoalan global hari ini—mulai dari krisis lingkungan, relasi kuasa, hingga identitas budaya.
Sayangnya, kata "arsip" seringkali dianggap milik institusi. Milik kantor dan rak berdebu. Padahal, setiap rumah, setiap kepala keluarga, setiap kelompok remaja masjid atau sanggar tari, punya jejak yang patut disimpan.
Mengarsip itu bukan kerja kaku, tapi bisa menjadi pengalaman kreatif seperti membuat film pendek tentang upacara panen, menerbitkan zine tentang permainan tradisional, atau sekadar memetakan narasi lisan dari para tetua.
Melalui pameran, pertunjukan, atau diskusi komunitas, arsip bisa dibawa keluar dari laci dan disajikan sebagai cerita yang hidup. Sebuah eksibisi bukan hanya tentang memamerkan benda atau foto, tetapi tentang menyatukan cerita, suara, dan emosi dari mereka yang pernah mengalami.
Seni, dalam bentuk apapun, punya daya untuk membuka ingatan. Ia mempertemukan orang-orang dalam percakapan, dalam nostalgia, dan dalam permenungan.
Seni menghidupkan kembali masa lalu bukan sebagai beban, tetapi sebagai warisan yang memberi arah. Seni pertunjukan, puisi, musik, bahkan mural di tembok kampung, bisa menjadi medium eksplorasi arsip.
Ketika komunitas menyadari pentingnya menyimpan jejak, di sanalah kerja kebudayaan bergerak dari simbol ke praksis. Dokumentasi bukan sekadar urusan teknis, melainkan urusan cinta: cinta pada kampung halaman, cinta pada leluhur, cinta pada masa depan.
Kita tak bisa menyerahkan semua pada negara. APBD dan APBN memang penting, tapi yang lebih menentukan adalah daya hidup komunitas. Pemerintah bisa menfasilitasi, tetapi yang paling tahu denyut tradisi adalah warga itu sendiri.
Karena itu, strategi pelestarian budaya mestinya mendekat pada desa, pada sanggar kecil di lorong sempit, pada ruang tamu rumah yang sering jadi tempat musyawarah malam.
Kolaborasi adalah kuncinya, antara komunitas, sekolah, pemuda, pegiat seni, dan pemerintah (multistakeholder) mesti jalin-menjalin kerja kolaboratif. Pengarsipan tak bisa ditumpu oleh satu pihak. Ia harus menjadi ekosistem. Menjadi ekologi kebudayaan.
Tak perlu menunggu acara besar. Pendokumentasian bisa dimulai hari ini, sekarang. Jika kita diam, maka waktu yang akan menghapuskan. Jika kita bergerak, maka masa depan akan punya pegangan.
Seorang anak yang lahir dari generasi kita yang sekarang, di masa depan mungkin akan bertanya kepada bapaknya, "Bagaimana upacara Maulid itu dulu berlangsung di desa kita?" Jika tak ada yang mencatat sebagai karya buku atau merekamnya dalam bentuk foto dan video, ia tentu saja akan menduga-duga.
Jika tak ada yang mengarsip peristiwa-peristiwa kecil, ia akan kehilangan. Tapi jika ada satu saja catatan cetak maupun digital, satu video atau foto, dan satu cerita, maka ia bisa membayangkan. Dan dari imajinasi itu, ia bisa mencipta ulang.
Posisi kita kini memang bukan penjaga masa lalu yang cenderung kita anggap kenangan sentimentil. Tetapi kita adalah jembatan menuju masa depan. Maka jembatan itu harus kuat—dibangun dari ingatan, dipelihara dengan cinta, dan disambung dengan dokumentasi.
Ya, semua itu bisa dimulai dari sekitar kita. Dari hal yang kecil, mulai dari yang ada. Dari keberanian untuk berkata, "Cerita ini penting. Mari kita simpan." Nah, begitu!

Bila Tradisi Lokal Kita Tak Lagi Diarsipkan
Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama!
Berita Terbaru Lainnya

SASAK, BANGSA TANPA PEMIMPIN KULTURAL
KATA-NYA - Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dima...

SASAK, BANGSA TANPA JALAN KELUAR
KATA-NYA - Bangsa Sasak semakin berada dalam sebuah persimpa...

Dalang Wayang Sasak Lalu Nasib dan Dunia Imajinasi Saya
KATA-NYA - Pertama kali saya mengenal nama Lalu Nasib bukan...

IN MEMORIAM H. LALU NASIP (NASIB) AR: ORANG SASAK TERBAIK
KATA-NYA - Mengenang orang besar bukanlah perkara mudah. Dal...

PARODI BANGSA SASAK
KATA-NYA - Bagi saya, bangsa Sasak adalah bangsa besar. Bang...

Karya Mahasiswa Universitas Bumigora Ramaikan Taman Budaya NTB, Wujud Nyata Kolaborasi Lintas Disiplin
KATANYA-Mataram – Fakultas Seni dan Desain Universitas Bumig...

KATA-NYA di Mataram, Lombok
Kata-nya di Mataram Program Studi Seni Pertunjukan Unniversi...

KATA-NYA di Solo
Kata-nya di Solo Gading Suryadmaja pentas di acara Pasar Ray...

Labirin Royalti Musik: Dari Kicau Burung ke Taylor Swift
KATANYA-Bayangkan Anda sedang bersantai di kafe favorit, men...

Membaca Simbol Pop dalam Gerakan Sosial
KATANYA-Di sebuah negeri yang amat serius dengan segala atri...